Saturday 20 July 2013

Asal Usul Masyarakat Bima


sumber :  http://blog.uad.ac.id/arifsf/?p=11

Asal Usul Masyarakat Bima
(DOU MBOJO) Oleh Zainudin
Kandidat Magister pada Ilmu Politik UGM Yogyakarta
Kelahiran Ncera, Bima, NTB
Masyarakat Bima yang sekarang kita kenal merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air. Akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan adalah berasal dari imigrasi yang dilakukan oleh etnis di sekitar Bima. Karena beragamnya etnis dan budaya yang masuk di Bima, maka tak heran agama pun cukup beragam meskipun 90% lebih masyarakat Bima sekarang beragama Islam. Untuk itu, dalam pembahasan berikut akan kita lihat bagaimana keragaman masyarakat Bima tersebut, baik dilihat dari imigrasi secara etnis/budaya maupun secara agama/kepercayaan.
Variasi Masyarakat Bima Berdasarkan Etnis/Budaya
Orang Donggo
Orang Donggo dikenal sebagai penduduk asli yang telah menghuni tanah Bima sejak lama. Mereka sebagian besar menempati wilayah pegunungan. Karena letaknya yang secara geografis di atas ketinggian rata-rata tanah Bima, Dou Donggo (sebutan bagi Orang Donggo dalam bahasa Bima), kehidupan mereka sangat jauh berbeda dengan kehidupan yang dijalani masyarakat Bima saat ini. Masyarakat Donggo mendiami sebagian besar wilayah Kecamatan Donggo sekarang, yang dikenal dengan nama Dou Donggo Di, sebagian lagi mendiami Kecamatan Wawo Tengah (Wawo pegunungan) seperti Teta, Tarlawi, Kuta, Sambori dan Kalodu Dou Donggo Ele.
Pada awalnya, sebenarnya penduduk asli ini tidak semuanya mendiami wilayah pegunungan. Salah satu alasan mengapa mereka umumnya mendiami wilayah pegunungan adalah karena terdesak oleh pendatang-pendatang baru yang menyebarkan budaya dan agama yang baru pula, seperti agama Islam, Kristen dan bahkan Hindu/Budha. Hal ini dilakukan mengingat masih kuatnya kepercayaan dan pengabdian mereka pada adat dan budaya asli yang mereka anut jauh-jauh hari sebelum para pendatang tersebut datang.
Kepercayaan asli nenek moyang mereka adalah kepercayaan terhadap Marafu (animisme). Kepercayaan terhadap Marafu inilah yang telah mempengaruhi segala pola kehidupan masyarakat, sehingga sangat sukar untuk ditinggalkan meskipun pada akhirnya seiring dengan makin gencarnya para penyiar agama Islam dan masuknya para misionaris Kristen menyebabkan mereka menerima agama-agama yang mereka anggap baru tersebut. Sebagaimana umumnya mata pencaharian masyarakat yang masih tergolong tradisional, mata pencaharian Dou Donggo pun terpaku pada berladang dan bertani. Sebelum mengenal cara bercocok tanam, mereka biasanya melakukan perladangan berpindah-pindah, dan karena itu tempat tinggal mereka pun selalu berpindah-pindah pula (nomaden).
Berhadapan dengan kian gencarnya arus modernisasi, seiring itu pula pemahaman masyarakat akan kenyataan hidup berubah, terutama dalam hal pendidikan dan teknologi. Saat ini, telah sekian banyak para sarjana asli Donggo, yang umumnya menimba ilmu di luar daerah seperti Ujung Pandang, Mataram atau bahkan ke kota-kota di pulau Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, Jakarta dan lain-lain. Demikian juga halnya dengan teknologi, yang akhirnya merubah pola hidup mereka seperti halnya dalam penggarapan sawah, kendaraan sampai alat-alat elektronik rumah tangga, karena hampir semua daerahnya telah dialiri listrik. Bahkan tak jarang mereka menjadi para penyiar agama seperti Da’i, karena telah begitu banyaknya mereka naik haji.
Dou Mbojo (Orang Bima)
Dou Mbojo yang dikenal sekarang awalnya merupakan para pendatang yang berasal dari daerah-daerah sekitarnya seperti Makassar, Bugis, dengan mendiami daerah-daerah pesisir Bima. Mereka umumnya berbaur dengan masyarakat asli dan bahkan menikahi wanita-wanitanya. Para pendatang ini dating pada sekitar abad XIV, baik yang datang karena faktor ekonomi seperti berdagang maupun untuk menyiarkan agama sebagai mubaliqh. Mata pencaharian mereka cukup berfariasi seperti halnya bertani, berdagang, nelayan/pelaut dan sebagian lagi sebagai pejabat dan pegawai pemerintah.
Karena pada awalanya mereka adalah pendatang, pada beberapa generasi kemudian banyak juga yang merantau ke luar daerah untuk berbagai keperluan dan profesi seperti sebagai pegawai daerah, sekolah/kuliah, menjadi polisi/tentara, pedagang dan lain-lain. Umumnya mereka memiliki sifat ulet, mudah menyesuaikan diri dengan orang lain dan bahkan kasar. Hingga kini, beberapa daerah di Bima mewarisi sifat-sifat kasar ini seperti beberapa daerah (desa) di Kecamatan Sape, Wera dan Belo.
Orang Arab dan Melayu
Orang Melayu umumnya berasal dari Minangkabau dan daerah-daerah lain di Sumatera, baik sebagai pedagang maupun sebagai mubaliqh. Jumlah mereka termasuk minoritas, yang pada awalnya menempati daerah Bima pesisir Teluk Bima, Kampung Melayu dan Benteng. Terdorong oleh arus mobilitas penduduk yang cukup cepat, sekarang sebagian besar mereka telah membaur ke wilayah-wilayah pedalaman bersama masyarakat Bima lainnya. Orang Arab pun datang ke Bima sebagai pedagang dan mubaliqh. Awal kedatangan orang Arab umumnya sangat tertekan karena harus berhadapan dengan masyarakat Bima yang sudah cukup variatif. Mereka dianggap sebagai pendatang dari Arab, sebagai turunan Nabi. Akan tetapi, sekarang mereka telah diterima secara umum dan wajar, serta telah berbaur dengan masyarakat. Bahkan seiring dengan kuatnya pengaruh Islam melalui Hadirnya Kesultanan Bima, termasuk orang Melayu, sering dianggap istimewa karena biasanya pada masa Kesultanan Bima mereka diangkat sebagai Da’I dan pejabat hadat di seluruh pelosok tanah Bima.
Pendatang Lainnya
Para pendatang ini datang dengan latar belakang yang beragam, dengan menduduki berbagai profesi baik sebagai pejabat pemerintah, polisi/tentara, pedagang/pengusaha. Mereka datang dari Jawa, Madura, Ambon, Flores, Timor-Timur, Banjar, Bugis, Bali, Lombok yang kemudian membaur dan menikah dengan masyarakat Bima asli maupun dengan para pendatang lain. Orang Cina tak ketinggalan memiliki peran di Bima, yang umumnya berprofesi sebagai pedagang. Dari segi jumlah, orang Cina memang tergolong kecil namun karena mereka sangat gigih dan ulet, peran mereka dalam perekonomian Bima sangat signifikan.

Suku Bima (Dou Mbojo)






Suku Bima merupakan suku yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sukun ini telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Pemukiman orang Bima biasa disebut kampo atau Kampe yang dikepalai orang seorang pemimpin yang disebut dengan Ncuhi. Jumlah Ncuhi yang terdapat di Suku Bima adalah tujuh Ncuhi yang pemimpin di setiap daerah.
Ncuhi dibantu oleh golongan kerabat yang tua dan dihormati. Kepemimpinan diwariskan turun temurun di antara keturunan nenek moyang pendiri desa. Setiap daerah menamakan dirinya sebagai bagian dari Bima, meski pada kenyataannya tidak ada pemimpin tunggal yang menguasai kepemerintahan tanah Bima.
Berbagai versi menyebutkan asal mula kata Bima menjadi suku tersebut. Ada yang mengatakan, Bima berasal dari kata “Bismillaahirrohmaanirrohiim”. Hal ini karena mayoritas suku Bima beragama Islam. Menurut sebuah legenda, kata Bima berasal dari nama raja pertama suku tersebut, yakni Sang Bima.
Legenda tersebut tertulis dalam Kibat Bo’. Ceritanya berawal dari kedatangan seorang pengembara dari Jawa yang bernama Bima tadi. Bima merupakan seorang Pandawa Lima yang melarikan diri ke Bima pada masa pemberontakan di Majapahit. Dia melarikan diri melalui jalur selatan agar tidak diketahui oleh para pemberontak, lalu berlabuh di Pulau Satonda.
Bima menikah dengan salah seorang putri di wilayah tersebut, dan memiliki anak. Bima memiliki karakter yang kasar dan keras, tapi teguh dalam pendirian serta tidak mudah mencurigai orang lain. Lalu, para Ncuhi mengangkat Bima menjadi Raja pertama wilayah tersebut yang kemudian menjadi daerah yang bernama Bima. Sang Bima dianggap sebagai raja Nima pertamanya.
Hanya saja, Sang Bima meminta kepada para Ncuhi supaya anaknya yang diangkat sebagai raja. Sementara dia sendiri kembali lagi ke Jawa dan menyuruh dua anaknya untuk memerintah di Kerajaan Bima. Oleh karena itu, sebagian bahasa Jawa Kuno kadang-kadang masih digunakan sebagai bahasa halus di Bima.
Nama Bima sendiri sebenarnya adalah sebutan dalam bahasa Indonesia, semnetara orang Bima sendiri menyebutnya Mbojo. Saat menggunakan bahasa Indonesia untuk merujuk “Bima”, yang digunakan tetap harus mengucapkan kata “Bima”. Tetapi bila menggunakan bahasa daerah Bima untuk merujuk”Bima”, kata yang digunakan secara tepat adalah “Mbojo”. Mbojo ini merupakan salah satu suku Bima karena dalam suku Bima sendiri ada dua suku, yakni suku Donggo dan suku Mbojo. Suku Donggo atau orang Donggo dianggap sebagai orang pertama yang telah mendiami wilayah Bima.
Saat ini, mayoritas suku Bima menganut agama Islam yang kini mencapai 95% lebih, di samping sebagian kecil juga menganut agama Kristen dan Hindu. Tetapi, ada satu kepercayaan yang masih dianut oleh suku Bima yang disebut dengan Pare No Bongi, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Pare No Bongi merupakan kepercayaan asli orang Bima. Dunia roh yang ditakuti adalah Batara Gangga sebagai dewa yang memiliki kekuatan yang sangat besar sebagai penguasa.
Kemudian ada lagi Batara Guru, Idadari sakti dan Jeneng, roh Bake dan roh Jim yang tinggal di pohon, gunung yang sangat besar dan berkuasa untuk mendatangkan penyakit, bencana, dan lainnya. Mereka juga percaya adanya sebatang pohon besar di Kalate yang dianggap sakti, Murmas tempat para dewa Gunung Rinjani; tempat tinggal para Batara dan dewi-dewi.
Dalam seni tradisional khas Bima, mereka memiliki tarian khas buja kadanda yang saat ini hampir punah. Namun kini telah mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah. Selain itu juga ada tari perang khas suku bima. Ada lagi tarian kalero yang berasal dari daerah Donggo lama. Kalero adalah tarian dan nyanyian yang berisi ratapan, pujian, pengharapan dan penghormatan terhadap arwah. Perlombaan balap kuda juga merupakan wujud kesenian lainya dari suku bima.
Adapun bahasa yang digunakan suku Bima adalah Bahasa Bima atau Nggahi Mbojo. Bahasa ini terdiri atas berbagai dialek, yaitu dialek Bima, Bima Dongo dan Sangiang. Bahasa yang mereka pakai ini termasuk rumpun Bahasa Melayu Polinesia. Dalam dialek bahasanya, mereka sering menggunakan huruf hidup dalam akhiran katanya, jarang menggunakan huruf hidup. Misalnya kata “jangang” diucapkan menjadi “janga”.
Mata pencaharian utamanya masyarakat suku Bima adalah bertani dan sempat menjadi segitiga emas pertanian bersama Makassar dan Ternate pada zaman Kesultanan. Oleh karena itu, hubungan Bima dan Makassar sangatlah dekat, karena pada zaman Kesultanan, kedua kerajaan ini saling menikahkan putra dan putri kerajaannya masing.  
Mereka juga berladang, berburu dan berternak kuda yang berukuran kecil tapi kuat. Orang menyebut kuda tersebut dengan Kuda Liar. Sejak abad ke-14 kuda Bima telah diekspor ke Pulau Jawa. Tahun 1920 daerah Bima telah menjadi tempat pengembangbiakkan kuda yang penting. Mereka memiliki sistem irigasi yang disebut Ponggawa. Para wanita Bima membuat kerajinan anyaman dari rotan dan daun lontar, juga kain tenunan "tembe nggoli" yang terkenal.

sumber : kebudayaanIndonesia.net

Saturday 13 July 2013

MENGENAL PARA RAJA DAN SULTAN BIMA

Kerajaan Bima mulai dirintis sejak abad 8 oleh Ncuhi bersama seorang Bangsawan Jawa Yang bergelar Sang Bima. Berikut Nama-nama Raja Bima :

1. Indra Zamrut
2. Batara Indra Bima.
3. Batara Sang Luka
4. Batara Bima.
5. Maharaja Mitra Indra Tarati
6. Manggampo Jawa.
7. Maharaja Bima Indra Seri
8. Bilmana.
9. Manggampo Donggo
10. Ma Waa Paju Longge
11. Ma Wa'a Ndapa
12. Mantau Asi Sawo.
13. Salisi (Mantau Asi Peka )

Catatan : Pada abad 15 terjadi pertukaran jabatan antara Raja Bilmana dengan Bicara Manggampo Donggo yang dikenal dengan Sumpah Bilmana. Sejak itu mata rantai terputus. Posisi Raja secara turun temurun dari keturunan adik Bilmana Manggampo Donggo dan keturunan Bilamana menjadi Ruma Bicara (Perdana Menteri).



Berikut ini nama-nama Sultan Bima
1.Sultan Abdul Kahir I [ Ma bata wadu] dinobatkan 1640 dan mangkat beberapa bulan setelah menjadi Sultan.
2. Sultan Abdul Khair Sirajuddin [ Mantau Uma Jati} 1640 - 1682
3. Sultan Nuruddin 1682 - 1687, kuburannya di Tolobali.
4. Sultan Jamaluddin {Sangaji Bolo} 1687 - 1696 Tewas di penjara Batavia.
5. Sultan Hasanuddin 1696 - 1731 Tewas di Tallo diberi gelar Mambora di Tallo.
6. Sultan Alauddin, Manuru Daha, 1731 - 1742
7. Sultan Abdul Qadim, Ma Waa Taho, 1742 - 1773
8. Sultanah Kumalasyah { Kumala Bumi Partiga} 1773 -1795 dibuang Inggris Ke Sailon Srilangka hingga mangkat.
9. Sultan Abdul Hamid, Mantau Asi Saninu, 1795 - 1819.
10. Sultan Ismail, Ma waa Alu, 1819 - 1854
11. Sultan Abdullah, Ma waa Adil, 1854- 1868
12. Sultan Abdul Azis, Ma Waa Sampela, meminggal diusia bujang, 1868-1881
13. Sultan Ibrahim, Ma Taho Parange, 1881 - 1915
14. Sultan Muhammad Salahuddin, Ma Kakidi Agama, 1915-1951, mangkat di Jakarta,pemakaman Karet.
15. Sultan Abdul Kahir II, Ma Busi Ro Mawo, Jena Teke 13 Nopember 1945, dianugerahi Sultan sebagai penghargaan oleh Majelis Adat saat mangkat 17 Juni 2001. (Catatan Alan Malingi)

Introduction / History


The Mbojo, also known as the Bima or Dompu, live in the lowlands of Bima and Dompu regencies in West Nusa Tenggara province. These two regencies are located in eastern Sumbawa island. There are also some Mbojo who live on Sangeang island. Although this area has a long coast with many bays, most of the population do not make their living from the sea. In fact, most of their communities are built about 5 km from the coast. The northern part of the island is fertile, while the southern part is barren. The Mbojo are also called the Oma ("move") because they often move from one place to another. The Bima language, sometimes called Nggahi Mbojo, has several dialects, including Bima, Bima Donggo and Sangeang.
What are their lives like?
The main livelihood of the Mbojo is farming in fields, but they also plant rice in paddies using a special irrigation system called panggawa. They are well-known horse tenders as well. Bima women are usually skilled at making plaited mats from bamboo and palm leaves, as well as weaving a famous cloth known as tembenggoli. Many Mbojo live outside their home area and at the same time many outsiders have moved into the Mbojo area. The villages of the Mbojo are called kampo or kampe and are led by a village leader called a neuhi. The village leader is assisted by highly respected village elders. The position of village leader is passed down through the generations. The Mbojo are not closed to outside influence. In the past they viewed education as a threat to their cultural traditions, but now they support it from elementary school through university. They view positively outside influences in culture and technology. Modes of transportation include carts or wagons pulled by water buffalo and horse-drawn buggies called "benhurs" after the American film Ben Hur came out. In 1969, the Nangameru area in Dompu was established as a transmigration site. As a result many Javanese and others from heavily populated areas came as transmigrants. This created many misunderstandings between the original inhabitants and the transmigrants and the social differences that developed have widened the great divide between them.
What are their beliefs?
Although most Mbojo are devout Muslims, they still believe in spirits and practice forms of animism, even still visiting healers - who are numerous in the area. They ask for advice and help from the healers, especially during times of difficulty and crisis. The Mbojo are afraid of local gods like Batara Gangga (chief of the gods), Batara Guru, Idadari Sakti and Jeneng, as well as other spirit types called Bake and Jin, which live in trees and high mountains. They believe these spirits can bring sickness and disasters. They also believe in sacred trees in Kalate and Murmas, where the god Batara and the gods of Rinjani mountain dwell. The beliefs of the ancestors are called pare no bongi by the Mbojo - belief in the spirits of the ancestors. In the 1930s, hundreds of Mbojo in the mountain areas around Dompu heard the gospel and received it. Today there are four villages in the mountains with a 'Christian' population of 90 percent, but they do not fully understand the gospel. They are very isolated and poor.
What are their needs?
Medical assistance is greatly needed, especially for the Mbojo who only make use of the healers. They also need agricultural training and farming equipment. Helping increase the people's awareness of the benefits they could find in the ocean would help improve their economic state.